T11/18/2017 12:17:00 PM

Asal Mula Desa Tuyuhan


Pernahkah anda datang ke Desa Tuyuhan? bagi sebagian besar orang rembang pasti tak asing lagi dengan desa yang satu ini. Desa yang terkenal dengan kuliner lontongnya ini sudah menjadi salah satu kuliner khas dari Kabupaten Rembang.

Asal Mula Desa Tuyuhan - Pintu Masuk Desa Tuyuhan
Penampakan Pintu Masuk Desa Tuyuhan
Lontong Tuyuhan itulah sebutan populernya adalah kuliner perpaduan potongan lontong, daging ayam kampung, dan kuah kuning. Bumbu Lontong Tuyuhan adalah ketumbar, jinten, bawang merah, bawang putih, daun jeruk, laos, cabai, garam, pala, kunyit.
JS. Asal Mula Desa Tuyuhan ~ Penampakan Lontong Tuyuhan ~
Penampakan Lontong Tuyuhan via chefsclubaspen.com
Sebagai Pengetahuan Tuyuhan adalah desa di kecamatan Pancur, Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Letak dari Desa Tuyuhan kurang lebih 3 km dari Lasem ke arah Selatan. Atau berada pada sekitar koordinat 6°43'23.8" Lintang Selatan 111°26'36.5" Bujur Timur. Desa Tuyhan sendiri terdiri dari 3 Dusun/Dukuh yaitu Dusun Tuyuhan, Dusun Karanglo, Dusun Muragan. Dan batas-batas dari Desa Tuyuhan adalah sebagai berikut:

Utara : Dukuh Karang Maling Ds. Jolotundo, Kec. Lasem
Timur : Ds. Pandan, Kec. Pancur
Selatan : Ds. Jape Rejo, Kec. Pamotan
Barat : Ds. Karas Kepoh & Ds. Jeruk, Kec. Pancur

Selain kuliner khasnya tersebut Desa Tuyuhan juga mempunyai cerita yang sangat menarik. Cerita tersebut merupakan cerita tentang Asal Mula Desa Tuyuhan yang bisa anda baca berikut ini:

Asal Mula Desa Tuyuhan

Dahulu kala sekitar tahun 1743, datanglah seorang lelaki dari Lasem yang bernama Eyang Jumali. Eyang Jumali merupakan salah keturunan Eyang Sambu yang makamnya kita ketahui berada di lingkungan Masjid Agung Lasem. Adapun maksud dan tujuan kedatangan Eyang Jumali ke tempat yang baru itu, yang masih berupa hamparan hutan lebat, yang konon katanya adalah salah satu hutan yang dianggap angker oleh warga sekitar pinggiran hutan itu adalah untuk mendirikan sebuah perkampungan. Jika keingnannya telah terwujud, untuk selanjutnya ingin mendirikan tempat padepokan guna menyebarkan Agama Islam. Karena itu dalam perjalanannya setelah memperoleh sebuah tempat yang dianggap cocok untuk mewujudkan cita-citanya, Eyang Jumali segera mendirikan sebuah gubug sederhana di pinggir sungai. Dan tidak lama, berikutnya Eyang Jumali sudah berhasil merekrut orang-orang yang berada dipinggiran hutan sekitarnya untuk diajak mempelajri ilmu agama islam.

Rupanya upaya Eyang Jumali untuk menyebarkan Agama Islam di tempat yang baru itu tidaklah sia-sia. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama telah banyak orang yang mau bergabung dengannya. Padepokan yang semula hanya sebuah gubug itu telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tempat yang semula dianggap angker itu telah berubah menjadi perkampungan yang banyak dihuni orang. Hanyaa sayangnya, meski tempat itu telah berubah menjadi sebuah perkampungan, keangkeran tempat itu masih belum sepenuhnya sirna. Oleh warga yang tinggal di tempat itu, mereka masih meyakini ada dua buah batu angker yang terletak di tengah sungai.

Melihat kenyataan itu, untuk menghapus keyakinan para pengikutnya bahwa dua batu yang terdapat di tengah sungai itumemiliki keangkeran yang luar biasa, Eyang Jumali mempunyai kiat yang unik. Karena memang rumah Eyang Jumali berada di tepi sungai, oleh Eyang Jumali dua batu yang dianggap angker itu dijadikan tempat berbuang hajat. Dengan kata lain dua buah batu itu oleh Eyang Jumali dijadikan tempat untuk buang air besar dan kecil. Dalam bahasa jawanya “watu panggonan kanggo wuyuhan”. Setiap hari Eyang Jumali membuang hajatnya selalu berada di atas dua batu yang dianggap angker di tengah sungai.

Rupanya upaya Eyang Jumali untuk menghilangkan keyakinan warganya dari kengkeran dua buah batu di tengah sungai tersebut berhasil juga. Lama kelamaan kepercayaan warganya tengtang keangkeran batu tersebut mulai hilang. Dan untuk mengenang jasa Eyang Jumali, setelah padepokan tersebut berubah menjadi sebuah perkampungan yang ramai, perkampungan tersebut dinamakan Desa Tuyuhan. Yang berasal dari kata “WATU KANGGO WUYUHAN” sebagai bukti atas kebenaran cerita ini, kedua batu tersebut hingga kini masih ada dan dapat kita saksikan keberadaannya.
Kini padepokan milik Eyang Jumali tersebut telah berubah menjadi sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang ulama bernama Kyai Ahmadi.

Urutan Nasab Eyang Jumali hingga Kyai Ahmadi

Eyang Jumali mempunyai seorang putri bernama Nyai Rodhilah. Selanjutnya Nyai Rodhilah mempunyai seorang putra bernama Kyai Abdul Rahman. Kyai Abdul Rahman mempunyai seorang putra bernama Kyai Ibrohim. Kyai Ibrohim mempunyai seorang putra bernama Kyai Haji Tabelawi. Selanjutnya Kyai Haji Tabelawi mempunyai seorang putra bernama Kyai Ahmadi yang memimpin pesantren hingga sekarang ini. Dengan demikian jika kita melihat urutan nasab tersebut, Kyai Ahmadi adalah keturunan ke 6 dari Eyang Jumali.

Kelebihan Eyang Jumali yang dikaruniai dari Allah SWT.

Tentang keberadaan Eyang Jumali sebagi tokoh penyebar agama Islam, selain beliau itu memiliki ilmu agama yang luas, beliau juga memiliki keampuhan-keampuhan lain yang tidak dimiliki oleh sembarang orang. Antara lain:
  1. Eyang Jumali mendirikan padepokan berada di tepi sungai. Tetapi setiap musim hujan datang dan terjadi banjir,  padepokan Eyang Jumali tidak pernah kemasukan air. Air banjir yang datang hanya terbendung secara ghoib di sekitar padepokan Eyang Jumali.
  2. Pada sekitar tahun 1739 rumah salah satu saudara Eyang Jumali yang tinggal di Nganjuk Jawa Timur mengalami kebakaran. Tanpa diberitahu terlebih dahulu, Eyang Jumali dapat mengetahui musibah yang dialami oleh saudaranya itu. Maka Eyang Jumali segera mengajak beberapa orang pengikutnya untuk pergi ke sungai yang ada di sisi padepokan. selanjutnya para pengikutnya diajak menyiramkan air ke arah timur. Apa yang terjadi? Rumah saudara Eyang Jumali yang terbakar tiba-tiba dilanda hujan yang sangat lebat, padahal pada saat itu sedang musim kemarau. Api yang membakar rumah saudaranya itu akhirnya padam dalam waktu sesaat setelah hujan lebat tersebut.
  3. Karena kemampuan Eyang Jumali tersebut, membuat kebesaran nama Eyang Jumali semakin melambung. Bahkan penguasa pada waktu itu merasa segan dan sangat menghormati Eyang Jumali.
Sekedar untuk diketahui, pada masa penjajahan Belanda letak rumah kepala desa selalu berada di luar dukuh Tuyuhan. Kepala Desa memilih untuk tinggal di dukuh Karanglo atau dukuh Murangan. Itulah cerita tentang asal usul kejadian desa Tuyuhan. Percaya atau tidak, tergantung anda masing-masing.

Sumber:
Dongeng Rakyat Kabupaten Rembang, 2009

Tak lupa penulis mengharap kritik dan saran yang membangun agar blog ini menjadi lebih baik lagi.
Terimakasih teleh membaca.... 🙏🙏🙏



Subscribe to receive free email updates: